TEMPO.CO, Jakarta - Carmelita Hartoto tak cuma meneruskan bisnis keluarga. Ia menciptakan inovasi. Mengibarkan bisnis warisan tanpa persiapan. Membalikkan keadaan dengan dua kapal.
Pelabuhan Tanjung priok seperti batu asah kemampuan manajerial Carmelita Hartoto. Tempat ia mulai menggali ilmu bisnis logistik dan pelayaran. Dari yang paling sederhana seperti istilah-istilah pelabuhan hingga memahami cara hidup di sana.
Baca juga :Simak 7 Kebohongan yang Sering Dilakukan, Apa Dampaknya?
Carmelita benar-benar tidak disiapkan atau menyiapkan diri memimpin perusahaan keluarga. Sebab sang ayah, Hartoto Hadikusumo--pendiri Andhika Group, menilai bisnis keluarganya sungguh maskulin, tak cocok untuk putri-putrinya. Tapi wafatnya sang ayah pada 1994 memaksa Carmelita mencebur ke bisnis para ‘lelaki’ itu.
Usai meraih gelar MBA Keuangan dari Webster University, Missouri, Amerika Serikat, Carmelita sempat bekerja untuk Lewis & Peat, sebuah perusahaan perdagangan di London, Inggris. Pada 1994, ia pulang kampung untuk liburan. Nah, ketika sedang berlibur itulah ayah Carmelita meninggal diserang penyakit jantung.
Hartoto, kata Carmelita, sejak awal ingin perusahaan dipimpin oleh profesional, bukan keluarga. Apalagi, ketiga anaknya perempuan. Makanya ketika Carmelita lulus kuliah dan siap magang, sang ayah menganjurkannya bekerja di perusahaan lain. “Kami disuruh usaha sendiri. Kami diminta terjun ke sektor keuangan atau perdagangan saja,” ia menceritakan.
Selanjutnya : Badai menghantam perusahaan